MELANJUTKAN pembahasan seputar masalah penyakit infeksi pada bencana banjir, diare beserta flu dan leptospirosis perlu kita waspadai. Air meluap dari selokan bercampur dengan tanah, sampah, dan kotoran sehingga kuman pun menyebar dan berisiko menimbulkan berbagai macam penyakit. Diare merupakan salah satu dampak lanjutan dari banjir terutama pada daerah dengan gangguan akses air bersih dan tingkat sanitasi yang rendah.
Penyebab paling sering diare akut adalah agen infeksi, yang dapat ditularkan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi dengan tinja (jalur fekaloral) yang mengandung mikroorganisme (kuman) penyebab penyakit seperti bakteri Escherichia coli, Vibrio cholerae, Salmonella, dan Shigella. Virus seperti Rotavirus, Enterovirus, Hepatitis A&E juga merupakan penyebab diare pada negara berkembang. Infeksi parasit seperti Giardia lamblia dan Amoeba juga dapat ditemukan pada beberapa kasus diare. Masa inkubasi agen-agen infeksi tersebut bervariasi antara 12 jam hingga 3-5 hari. Namun dalam kaitannya dengan banjir, penyakit dapat muncul dalam waktu lebih dari 1 bulan setelah banjir reda.
Seseorang berisiko menderita diare apabila akses air bersih kurang, sanitasi lingkungan buruk, personal hygiene buruk, mengkonsumsi makanan yang kurang matang (terutama daging), dan malnutrisi (gizi buruk).
Gejala diare adalah adanya buang air besar dengan frekuensi lebih dari 4 kali sehari, dengan konsistensi tinja cair atau lebih lunak dari biasanya. Pada disentri yang disebabkan oleh bakteri Shigella dan Amoeba, juga terdapat lendir dan darah pada tinja tersebut. Kolera dapat menyebabkan gejala diare yang lebih hebat dengan frekuensi buang air besar yang sangat banyak dan kotorannya sangat encer menyerupai air cucian beras. Adanya infeksi sebagai penyebab diare juga menyebabkan adanya gejala lainnya yang menyertai, seperti demam, mual muntah, nyeri sendi, nyeri kepala.
Kebanyakan kasus diare diatasi sendiri oleh pasien dengan membeli sendiri obat diare yang dijual di apotek sebagai pertolongan pertama di rumah. Namun ada tanda-tanda bahaya yang harus kita ketahui supaya pasien memeriksakan ke dokter, yaitu apabila diare berlangsung lebih dari 2 hari tanpa perbaikan dengan/tanpa obat anti-diare, diare berair dan banyak, tinja disertai darah, muntah-muntah sehingga mengganggu asupan makan dan minum, terdapat demam lebih dari 38,5 derajat Celcius, dan telah muncul gejala dehidrasi.
Rehidrasi dan penggantian elektrolit secara sederhana di rumah dapat dilakukan dengan pemberian oralit setiap kali buang air besar cair. Terapi yang akan diberikan pertama kali oleh dokter adalah terapi untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang setelah diare (rehidrasi) dengan infus. Pemeriksaan darah dan tinja pasien dilakukan untuk mencari kuman penyebab dan menilai keseimbangan elektrolit. Pasien dengan diare yang berat sebaiknya dirawat inap agar pemberian cairan dan obat-obatan dapat terkontrol melalui infus untuk mencegah terjadinya komplikasi diare yaitu dehidrasi, sepsis (penyebaran agen infeksi ke seluruh tubuh), malnutrisi (gizi buruk), hingga kematian.
Demi mewujudkan masyarakat yang bebas diare, WHO menyusun 7 kunci penting untuk mencegah diare, yaitu penyediaan akses air yang aman diminum, sistem sanitasi yang baik, mencuci tangan menggunakan sabun, pemberian ASI hingga 6 bulan pertama kehidupan, personal hygiene (kebersihan diri) dan konsumsi makanan yang bersih, edukasi kesehatan mengenai penyebaran penyakit, dan vaksinasi Rotavirus.
Mari kita upayakan kebersihan lingkungan dan jaga kebersihan diri agar tidak terjangkit penyakit menular! Semoga kita semua senantiasa sehat.